27 April 2016

Cultural Shift

Kurang lebih 4 tahun yang lalu saya masih hidup di kota Surabaya sebagai mahasiswa Jurusan Fisika di UNAIR. Kehidupan kota Surabaya dan suasana metropolisnya membuat jiwa outspoken saya tersalurkan. Saya berani untuk mengutarakan pendapat. Saya berani untuk menunjukkan diri saya. Saya melawan. Debat dimanapun untuk beradu argumen dengan benar sudah menjadi hal sewajarnya. Setiap hari saling tegur di asrama. Bahkan mencaci jika melihat ketidaksesuaian dengan norma positif adalah hal lumrah

4 tahun di Solo saya sudah memahami budaya yang adem ayem, alon-alon asal klakson -eh klakon. Awalnya sempat menghadapi cultural shock karena kebiasaan saya yang ceplas ceplos. Budaya di jawa tengah mayoritas mengutamakan kestabilan dan ketenangan sosial ketimbang menunjukkan perlawanan. Rela terinjak pun tidak apa-apa asal tidak gaduh.
Kira-kira seperti itu...

Orang di sekitar tampak risih dengan suara-suara saya dulunya. 1 tahun saya merasa biasa saja. 2 tahun dengan semakin banyak bertemu dengan masyarakat saya mulai berpikir. 3 tahun sering bertemu dengan calon pasien, saya semakin sadar bahwa kebiasaan lama saya membuat mereka sakit hati nantinya. Saya tidak memaksa. Cukup saya mengubah diri menjadi lebih terbungkam lewat suara. Namun tangan saya masih bekerja. Ketenangan adalah apa yang mereka cita-citakan.