12 Desember 2013

Idealisme sekolah di kedokteran

Assalamualaikum wr. wb.
Hello world,

Mungkin ini sedikit renungan yang saya tulis menjelang ujian blok neurologi.

"Lucu rasanya ketika saya menjadi seorang dokter tapi saya jarang atau
bahkan menjauhi manusia."

Gak terasa semester 3 di fakultas kedokteran UNS akan berlalu. Saya
sangat bersyukur bisa bersekolah dan memperdalam ilmu tentang manusia
di sini. Dengan segala keunikan dan desain yang sempurna dari Sang
Pencipta manusia diciptakan dan tidak ada habisnya untuk dipelajari.
Tuhan memang Maha Pemurah, tuhan menciptakan penyakit namun juga
memberi obat, kecuali kematian. Ketika kematian datang yang ada
hanyalah masa kebangkitan untuk dimintai pertanggungjawaban. Saya pun
meyakini hal itu.

Hari ini apa yang saya lakukan hanyalah belajar dan membaca sebagian
materi yang telah disampaikan sebulan yang lalu. Di kampus UNS ini
sistem pembelajaran kedokterannya menggunakan sistem KBK (Kurikulum
Berbasis Kompetensi) dimana menekankan pada student centered learning.
Mahasiswa ditekankan untuk mempelajari dan memperkaya bacaan sesuai
minat bakatnya. Namun menjelang ujian blok ini sudah menjadi kewajiban
untuk memahami bahan kuliah yang diberikan oleh dosen. Sedikit rasa
penyesalan dalam diri saya ketika menyadari bahwa selama ini banyak
waktu yang terbuang sia-sia. Kadangkala saya berpikir untuk kembali
dan menikmati pembelajaran yang diberikan oleh dosen. Waktu terus
berputar dan hanya menyisakan penyesalan bagi orang yang tidak bisa
menggunakan. Materi-materi ini harusnya sudah saya kuasai ketika saya
keluar dari ruang kuliah.

Di kehidupan sekolah kedokteran ini saya mulai bingung. Kadangkala
hobi saya mengetuk biji keyboard yang sejak dulu saya kembangkan
sekarang jarang digunakan lagi. Mungkin sekedar menulis resume atau
membuat daftar apa yang telah saya lakukan atau akan rencanakan
sepertinya telah teralihkan dengan kehidupan yang menipu. Banyak
sekali daya tarik yang menipu fokus saya di sini. Kadangkala sewaktu
saya di rumah, saya merencakan memulai hidup saya dengan berlaku
selayaknya sebagai seorang "calon" dokter. Akan tetapi ketika sampai
di sini, saya hanya mengikuti kesenangan dan melupakan apa yang
menjadi tanggung jawab. Saya merasa belum cukup dewasa untuk bertindak
seperti apa yang saya ingin. Karena apa yang disebut hawa nafsu dan
rasa malas itu masih duduk memerintah di pikiran saya. Kehidupan di
kampus tidak selamanya selaras dengan cita-cita menjadi dokter. Banyak
sekali hal-hal yang bertentangan dengan penumbuhan jiwa seorang
dokter. Misalnya kehidupan yang terlalu bermewah-mewahan dan terlalu
berfoya-foya menurut saya sangat berbeda jauh dengan apa yang akan
kita hadapi sebagai seorang dokter kedepan, yaitu "manusia yang
membutuhkan peningkatan kesehatan". Ingin sekali rasanya saya masuk ke
dalam sebuah rumah yang belum saya kenal , kemudian saya bertamu
disana, memperkenalkan diri sebagai seorang pelayan kesehatan kemudian
mendengarkan, mendiagnosis, dan memberikan solusi tentang apa yang
mereka keluhkan.

Dulu saya suka pergi ke sebuah tempat yang belum pernah saya kunjungi.
Sekedar menemukan jalan baru atau melemparkan senyum kepada orang di
sekitar. Padahal ketika semester satu saya suka sekali jalan-jalan di
RS Moewardi sehingga sering kali saya tersesat di sana.

"Belajar, memahami dan menghafal berbagai macam penyakit dan fungsi
organ tubuh memang tak semenarik apabila kita tau apa yang kita hadapi
nanti. "

Ketika lingkungan hanya berpikir untuk diri sendiri,
ketika lingkungan hanya mengejar standar yang semu,
ketika kepentingan dan sementara sementara lebih diutamakan,
disitulah seorang pribadi mulia sedang berjuang.

Saya ingin berlaku sekeras ketika saya ingin bisa berada di sini,
dalam berbagai kesederhanaan yang tidak peduli akan kemewahan.

Wassalam,
Surakarta, hujan gerimis tengah malam.