Hello world!
Assalamualaikum wr. wb.
Tahun 2016 cukup banyak isu kesehatan yang kita hadapi. Mulai dari penemuan vaksin palsu hingga demonstrasi sejawat menolak program Dokter Layanan Primer (DLP). Kali ini saya ingin mengajak pembaca mengingat kembali pada cita-cita luhur bangsa dalam mewujudkan Universal Health Coverage (UHC). Falsafah dan dasar negara Pancasila terutama sila ke-5 mengakui hak asasi warga atas kesehatan. Hak ini juga termaktub dalam UUD 45 pasal 28H dan pasal 34, dan diatur dalam UU No. 23/1992 yang kemudian diganti dengan UU 36/2009 tentang Kesehatan. Dalam UU 36/2009 ditegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan dan memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Sebaliknya, setiap orang juga mempunyai kewajiban turut serta dalam program jaminan kesehatan sosial. Usaha untuk meraih UHC sudah dilakukan oleh pemerintah kurang lebih selama 2 tahun ini melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Tentu saja selama pelaksanaan JKN terdapat beberapa evaluasi yang harus dikaji dan segera diperbaiki
Di penghujung tahun ini saya ingin bertanya kepada para pembaca:
"Sudahkah Anda berkunjung ke Puskesmas?"
Dahulu sebelum era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) puskesmas menjadi salah satu tempat yang sering "terlewatkan" oleh masyarakat kita. Masyarakat lebih memilih berobat ke fasilitas kesehatan tingkat lanjut. Tampaknya ada kekhawatiran pada saat itu terhadap kualitas pelayanan kesehatan di Puskesmas sehingga masyarakat lebih sering berobat ke rumah sakit. Seringkali dulu kita menemui puskesmas yang terlihat "apa adanya". Puskesmas dengan keterbatasan fasilitas dan tenaga medisnya mungkin sudah jarang terlihat di kota besar dan daerah yang dekat dengan pusat. Apalagi saat ini Puskesmas wajib diakreditasi untuk dapat bekerja melayani JKN. Selain itu faktor geografis dan letak puskesmas yang lebih jauh daripada fasilitas kesehatan non primer membuat masyarakat enggan berkunjung ke Puskesmas.
Seiring dengan diterapkannya JKN maka mau tidak mau masyarakat harus mematuhi peraturan dan alur berobat yang telah ditetapkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Sehingga tidak heran bahwa saat ini banyak sekali pasien yang kita temui pada saat kita berkunjung ke Puskesmas. Singkatnya sistem rujukan pengobatan saat ini sudah lebih tertata walaupun ada beberapa masyarakat yang "mengakali" sistem rujukan supaya cepat terlayani. Suatu keniscayaan tampaknya dengan diberlakukannya JKN maka antrian pasien semakin memanjang dan waktu terlayani semakin lama. Wajar jika diantara pasien sering kali terdengar ucapan "Kalau gak mau antri ya pilih mandiri"
Kembali lagi pada realita yang ada di Puskesmas. Setiap tahun petugas puskesmas memiliki pekerjaan rumah (PR) khusus yang membuat mereka resah, yaitu akreditasi. Akreditasi merupakan syarat wajib yang diberlakukan oleh peraturan perundang-undangan plus BPJS. Pentingnya dimana? Kalo gak ikut akreditasi ya gak bisa klaim JKN. Akreditasi itu ibarat ujiannya puskesmas. Puskesmas harus bisa memenuhi beberapa standar pelayanan dan fasilitas minimal. Harapannya adalah peningkatan dan penyetaraan mutu Puskesmas sehingga kepuasan masyarakat terhadap puskesmas meningkat.
Selain itu sisi penting dari fungsi Puskesmas dalam upaya kesehatan promotif dan preventif lebih optimal dengan adanya akreditasi. Paradigma mencegah sakit harusnya sudah menjadi fokus utama Puskesmas dan masyarakat. JKN tidak akan berhasil jika masyarakat tidak ikut berpartisipasi aktif dalam menjaga dan meningkatkan kesehatannya. Sampai saat ini permasalahan yang ada di Puskesmas selain program yaitu karakteristik dan pola pikir masyarakat yang masih tak acuh terhadap kesehatan.
Setelah Puskesmas terakreditasi ternyata problem JKN tidak berhenti sampai disitu. BPJS menemukan jumlah rujukan dari Puskesmas masih sangat tinggi. Singkatnya BPJS berkesimpulan bahwa beberapa unsur tenaga medis di layanan primer masih belum cukup baik untuk menangani pasien sesuai kompetensinya. Ujug-ujug dari data tersebut BPJS mengusulkan kebijakan melalui jalur perundangan berupa peraturan menteri, keluarlah istilah Dokter Layanan Primer (DLP). DLP merupakan istilah baru yang ada di Indonesia. Jadi di Indonesia ada istilah Dokter Umum, Dokter Spesialis dan Dokter Layanan Primer. Menurut peraturan tersebut DLP merupakan dokter setara spesialis yang ditugaskan di layanan kesehatan primer. Singkatnya DLP adalah dokternya BPJS yang dapat menerima klaim JKN, Sehingga lulusan dokter umum saja tidak cukup bekerja dilayanan primer dan menerima klaim seperti DLP. Dokter umum wajib sekolah lanjut selama minimal 3 tahun rencananya. Hal inilah yang menjadi inti penolakan dari sejawat dokter di Indonesia. Pada dasarnya alasan sejawat adalah dengan kewaiban sekolah lagi maka pelayanan kesehatan primer akan terbengkalai. Terlebih institusi pendidikan kedokteran yang benar-benar baik (akreditasi A) masih sedikit. Masih banyak FK yang terakreditasi C dan turut dalam mencetak dokter. Tentu sejawat berpemahaman bahwa kualitas dokter setara dengan akreditasi FK-nya. Selain itu fokus untuk menyelesaikan masalah bukan menambah masa studi akan tetapi dengan cara memperbaiki kompetensi dan ujian pada saat masa pendidikan sebelum menjadi dokter. Jika DLP diterapkan maka sejawat memahami hal ini hanya akan menambah permasalahan bukan membenahi pelayanan kesehatan. Harapan kita bersama tentunya dengan semakin berkualitasnya dokter yang terjun di pelayanan kesehatan primer maka tingkat kesehatan masyarakat kita semakin meningkat.
Sistem kesehatan kita memang tidak bisa dibandingkan dengan negara maju seperti Kanada, Jepang ataupun Amerika. Tetapi kita harus lebih banyak berkaca pada negara China dan India dengan populasi dan tingkat ekonomi yang hampir mirip. Toh kesehatan tidak hanya berdiri sendiri. Ujung-ujungnya orang sehat jika ekonomi, jiwa dan sosialnya juga sehat. Bingung. Masih banyak PR di negeri ini.
Read More..